Cara Membungkam Pemegang Saham Minoritas

LEGAL OPINION
Question: Hukum telah memberi perlindungan bagi pemegang saham minoritas, yang punya saham paling tidak 10 %. Jadi rasanya akan aman-aman saja menaruh inventasi pada perseroan terbatas sekalipun sebagai pemegang saham minoritas. Memangnya seperti apa, resiko yang mungin terjadi, bagi pemegang saham minoritas?
Brief Answer: SHIETRA & PARTNERS tidak pernah merekomendasikan kepada para investor untuk menjadi pemegang saham minoritas dalam suatu badan hukum yang kekayaannya terbagi atas saham, seperti Perseroan Terbatas lokal, PT. PMDN (Penanaman Modal dalam Negeri), terlebih PT. PMA (Penanaman Modal Asing).
Terkecuali, investor tahu / mengenal benar calon rekan yang menjadi pemegang saham mayoritas—meski tidak tertutup resiko dikemudian hari pemegang saham mayoritas akan menjual sahamnya kepada pihak ketiga, yang belum tentu pemegang saham mayoritas baru akan beritikad baik terhadap pemegang saham minoritas.
PEMBAHASAN:
Terdapat cara yang sangat mudah untuk “menyiasati” ketentuan perihal permohonan Audit Investigasi yang menjadi hak prerogatif pemegang saham minoritas terhadap perseroan, sebagaimana SHIETRA & PARTNERS dapat uraian salah satu modusnya ialah dengan menyalah-gunakan mekanisme “mandatory convertible bond”—dengan sangat efektif disamping efisien, karena caranya sangat halus dengan dikemas lewat instrumen keuangan demikian yang legal.
Bagaimanakah cara kerja mandatory convertible bond, untuk menyisihkan besaran proprosional saham milik pemegang saham minoritas? Perihal kaedah normatif Undang-Undang perihal Perseroan Terbatas, memberi perlindungan bagi pemegang saham minoritas dengan hak untuk mengajukan permohonan Audit Investigasi ke hadapan Pengadilan Negeri setempat terhadap perseroan, untuk mencari kebenaran substansiel dan kebenaran materiil terhadap kondisi keuangan perseroan yang dinilai tidak akuntabel atau tidak transparan terhadap pemegang saham.
Permohonan Audit Investigasi, dapat diajukan oleh pemegang saham yang paling tidak minimal memiliki 10 % (sepuluh persen) dari total saham dengan hak suara dalam suatu perseroan. Hendaknya untuk tidak berasumsi, bahwa dengan telah mengantungi 20 % atau 30 %, atau bahkan 49 % dari total saham perseroan, maka membuat kedudukan pemegang saham bersangkutan akan telah berada di zona “aman”.
Simak rekayasa berikut yang dapat terjadi dalam rezim hukum perseroan di Indonesia. Pemegang saham mayoritas yang merasa “meradang”, karena pemegang saham minoritas mulai merong-rong kepengurusan perseroan, tentunya tidak ingin ada intervensi sekecil apapun dari pemegang saham minoritas. Sebagai ilustrasi, pemegang saham minoritas memiliki 30 % dari total saham dengan hak suara dari perseroan.
Untuk membungkam pemegang saham minoritas, cukup semudah menjadikan kepemilikan saham yang bersangkutan dibuat menjadi “menyusut”, dari 30 % menjadi kurang dari 10 %. Untuk itu, pemegang saham mayoritas mulai melakukan langkah rekayasa (yang sangat legal dan sahih), yakni dengan cara meminta afiliasi badan usaha milik sang pemegang saham mayoritas, seakan memiliki piutang terhadap perseroan, entah hutang-piutang fiktif ataupun nyata.
Karena sejatinya resolusi / keputusan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) dikuasai oleh suara pemegang saham mayoritas, maka bukanlah perkara sukar bagi pemegang saham moyoritas untuk menyelenggarakan RUPS dengan agenda acara menyetujui proposal mandatory convertible bond yang seakan diajukan dan ditawarkan oleh kreditornya tersebut (entah kreditor benaran atau kreditor hasil rekayasa yang berangkat dari anak usaha / afiliasi / sister company milik pemegang saham mayoritas).
Selanjutnya, dengan alasan tidak mampu membayar obligasi yang berangkat dari mandatory convertible bond, selanjutnya secara legal yuridis diberlakukan-lah mekanisme mandatoris berupa penerbitan saham baru perseroan yang kemudian dikonversikan menjadi pengganti (tukar-guling) dengan sejumlah nominal piutang perseraon.
Ketika jumlah piutang dalam mandatory convertible bond dirancang sedemikian rupa, agar saham baru yang diterbitkan cukup besar nilainya, yakni sebesar kalkulasi agar pada akhirnya secara proporsional kepemilikan saham dari pemegang saham minoritas bergeser, dari semula 30 % menjadi proporsional (seakan menurun) menjadi kurang dari 10 % akibat diterbitkannya saham baru perseroan untuk dikonversi sebagai kompensasi obligasi yang berangkat dari mandatory convertible bond.
Sebagai contoh, kekayaan perseroan yang terbagi atas saham, ialah sebesar Rp. 1.000.000.000;-. Pemegang saham minoritas memiliki saham sejumlah 30 %, atau setara senilai Rp. 300.000.000;-. Sementara itu pemegang saham baru yang masuk berdasarkan mandatory convertible bond, memiliki piutang sejumlah Rp. 2.100.000.000;-.
Dengan demikian, pasca pemberlakuan mandatory convertible bond, maka total modal perseroan menjadi sejumlah Rp. 3.100.000.000;-. Karena kepemilikan nominal saham sang pemegang saham minoritas hanya senilai Rp. 300.000.000;- maka secara proporsional kini kepemilikan sahamnya menjelma kurang dari 10 %, sehingga praktis seketika itu juga hak untuk mengajukan Audit Investigasi bagi yang bersangkutan, tertutup pintu yuridisnya. Mandatory convertible bond selalu menjadi cara bermain “cantik” penyelundupan hukum perseroan.
Cara kedua, yang agak lebih merepotkan meski tidak kalah “cantik”-nya, yakni dengan mekanisme penerbitan saham baru perseroan, dengan dalih menambah modal perseroan—meski sejatinya merupakan suatu alibi “akal-akalan” semata dari pemegang saham mayoritas.
Betul bahwa saham baru perseroan yang rencananya akan diterbitkan, wajib ditawarkan kepada masing-masing pemegang saham. Namun ketika status ekonomi dan finansial dari pemegang saham minoritas masih dibawah kondisi keuangan pemegang saham mayoritas untuk membeli saham-saham baru tersebut, pada akhirnya jumlah persentase pemegang saham minoritas akan tampak “tenggelam” dengan berbagai penerbitan saham-saham baru demikian.
Kedua cara diatas dikenal ampuh untuk membungkam kalangan pemegang saham minoritas yang mulai “mengendus” terjadinya modus “transfer pricing” yang dilakukan oleh pemegang saham mayoritas. Singkat kata, tidak ada yang mustahil bagi pemegang saham mayoritas, kecuali pemegang saham mayoritas hanya memegang saham dengan kriteria “saham tanpa hak suara”.
Mengingat betapa berkuasanya pemegang saham mayoritas, maka pemegang saham minoritas dalam praktiknya sebagaimana dijumpai SHIETRA & PARTNERS, selalu mengandalkan itikad baik sang pemegang saham mayoritas. Singkat kata, esensi yang dapat disampaikan oleh SHIETRA & PARTNERS, menjadi investor untuk menduduki pemegang saham minoritas, sama artinya “membeli kucing dalam karung” yang sangat bergantung pada itikad pemegang saham mayoritas.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.