Aspek Hukum Mitra Kerja & Uang Kerohiman Pemutusan Kemitraan

LEGAL OPINION
Question: Saat ini semua tenaga kerja dijadikan seolah-olah adalah mitra dari pengusaha, semisal supir taksi, driver ojek online, tour leader, dsb, dengan tujuan agar tidak dapat meminta pesangon sekali waktu diputus hubungan kerjanya. Apa betul-betul tidak ada perlindungan hukum, bagi mereka yang dianggap semata sebagai mitra kerja ini?
Brief Answer: Perihal konsepsi “mitra kerja”, apakah termasuk dalam kategori “Tenaga Kerja” dalam hubungannya dengan “Pemberi Kerja”, tunduk atau tidaknya pada ketentuan peraturan perundang-undangan tentang Ketenagakerjaan, maka yang perlu kita pahami ialah: banyak hal yang tidak diatur dalam ketentuan hukum tertulis, namun dapat kita jumpai norma hukum yang dibentuk lewat praktik peradilan sebagai suatu best practice untuk mengisi “kekosongan hukum” guna mencegah penyalahgunakan “celah hukum” yang terbuka akibat ketidak-lengkapan norma aturan hukum tertulis.
Bila hubungan kemitraan tersebut telah berlangsung cukup lama dan saling bermutualisme, sehingga para mitra telah sangat bergantung ekonominya dalam hubungan kemitraan demikian, pemutusan hubungan kemitraan dapat dilakukan dengan “Uang Kerohiman” sebesar 6 bulan Upah—suatu terminologi “Uang Kerohiman” yang sejatinya tidak dikenal dalam Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan.
PEMBAHASAN:
Terdapat ilustrasi konkret yang menjadi rujukan utama SHIETRA & PARTNERS, yang dapat diberi title sebagai landmark decision karena kaya akan elaborasi pertimbangan hukum, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan “Kemitraan Kerja”, register Nomor 333 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 23 Juni 2016, perkara antara:
- THOMAS LAZUARDI, selaku Direktur CV. Subur Andalas Timber, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- 25 orang Mitra Kerja, selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Penggugat.
Para Penggugat mengklaim sebagai karyawan pada perusahaan Tergugat, bekerja dengan sistim borongan, sementara upah yang diterima oleh Para Penggugat terdiri dari upah harian dan upah atas kelebihan target, dengan rincian:
- bila Para Penggugat tidak dapat mencapai target dan/atau dapat mencapai target akan tetapi tidak melebihi target yang ditentukan oleh Tergugat, maka upah yang diterima oleh Para Penggugat adalah upah harian;
- bila Para Penggugat dapat melebihi target yang ditentukan oleh Tergugat, maka upah yang diterima oleh Para Penggugat adalah upah harian ditambah upah tambahan dari kelebihan target.
Para Penggugat telah bekerja mulai bulan Juni 2006 atau pada saat perusahaan Tergugat mulai beroperasi, dengan besaran upah antara Rp80.000,- hingga Rp100.000,- per hari, ditambah upah atas kelebihan target kerja, sedangkan pembayaran upah terakhir kali pada Desember 2014.
Di perusahaan Tergugat terdapat 2 bagian pekerjaan, yaitu bagian Moulding dan bagian Sawmil (Penggergajian kayu), dimana Para Penggugat dipekerjakan oleh Tergugat pada bagian Sawmil atau dibagian penggergajian kayu. Para Penggugat bekerja di perusahaan Tergugat setiap hari kecuali hari minggu dan hari libur Nasional dengan hari kerja dan jam kerja sebagai berikut:
- hari Senin sampai dengan Jumat bekerja 7 (tujuh) jam perhari yaitu mulai pukul 08.00 sampai dengan 16.00 WIB;
- hari Sabtu bekerja 5,5 jam yaitu mulai pukul 08.00 sampai dengan pukul 14.30 WIB.
Sekitar tahun 2008 sampai dengan tahun 2012, Para Penggugat dipekerjakan oleh Tergugat dengan jam kerja 13 jam perhari, mulai dari pukul 08.00 sampai dengan 22.00 WIB. Adapun upah yang diberikan oleh Tergugat kepada Para Penggugat dengan jam kerja 13 jam perhari sejumlah 2 (dua) kali upah harian.
Tanggal 22 Desember 2014, Tergugat menyampaikan bahwa terhitung mulai tanggal tersebut sampai dengan 4 Januari 2015, Para Penggugat diliburkan (libur Tahun Baru) dan kembali masuk kerja seperti biasa tanggal 5 Januari 2015.
Tanggal 05 Januari 2015, Para Penggugat mendatangi perusahaan untuk bekerja seperti biasa, akan tetapi Tergugat menyampaikan kepada Para Penggugat bahwa Para Penggugat masih diliburkan, tanpa memberitahukan kapan masuk kerja kembali.
Tanggal 13 Januari 2015, Para Pengugat kembali mendatangi perusahaan dan Tergugat melalui kepala satpam menyampaikan kepada Para Penggugat, bahwa perusahaan Tergugat untuk bagian Sawmel (penggergajian kayu) tidak beroperasi lagi, dengan alasan sewa (kontrak) lahan atau tempat kerja yang dipakai untuk Sawmel (penggergajian kayu) tidak diperpanjang atau tidak dilanjutkan lagi oleh pemiliknya, kemudian Tergugat menawari uang kompensasi pesangon kepada Para Penggugat sebagai berikut:
- Pekerja dengan masa kerja 8 tahun sejumlah Rp2.000.000;
- Pekerja dengan masa kerja dibawah 8 tahun sejumlah Rp1.200.000.
Oleh karena Para Penggugat menolak tawaran kompensasi demikian, maka Tergugat menyuruh Para Penggugat keluar dari lokasi perusahaan dan tidak diperbolehkan masuk kerja. Sampai kini perusahaan Tergugat bagian Moulding masih tetap beroperasi seperti biasanya.
Terhadap tindakan pemutusan hubungan kerja sepihak dengan cara melarang Para Penggugat masuk kerja yang dilakukan oleh Tergugat, selanjutnya Para Penggugat mengajukan perundingan bipartit kepada Tergugat dengan mengirimkan surat sebanyak dua kali, akan tetapi tidak mendapat tanggapan.
Oleh karena permohonan perundingan bipartit tidak mendapat tanggapan, maka pada tanggal 22 Januari 2015 Para Penggugat mengajukan permohonan Pencatatan Perselisihan Hubungan Industrial ke Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gresik, yang selanjutnya dilakukan Mediasi, akan tetapi tidak tercapai kesepakatan. Untuk itu Disnaker Kabupaten Gresik menerbitkan anjuran tertulis tertanggal 27 April 2015, dengan substansi:
“Agar perusahaan memberikan uang pesangon kepada pekerja Sdr. Supardi dkk (25 orang) sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Meski Disnaker telah menerbitkan anjuran, namun Tergugat tidak bersedia melaksanakan anjuran tersebut. Oleh karena perusahaan Tergugat sampai saat ini masih beroperasi dan Tergugat telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak dengan cara melarang Para Penggugat memasuki lokasi perusahaan, serta Tergugat telah tidak memberikan upah sejak bulan Januari 2015, maka dengan ini Para Penggugat mengajukan permohonan PHK dengan meminta kompensasi berupa uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan normal, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak, serta “Upah Proses” selama tidak dipekerjakan mulai bulan Januari 2015 sampai dengan Oktober 2015.
Sementara dalam sanggahannya pihak Tergugat selaku Pengusaha, mendalilkan bahwa perundingan bipartit belum pernah dilakukan oleh Para Penggugat dengan Tergugat, maka Mediasi di Disnaker menjadi cacat hukum, karena untuk dapat dilakukannya sengketa hubungan industrial, harus sudah ada perundingan bipartit, sedangkan perundingan bipartit tidak pernah dilakukan, sebagaimana disyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Terhadap gugatan para Mitra Kerja, Pengadilan Hubungan Industrial Gresik kemudian menjatuhkan putusan Nomor 12/Pdt.Sus.PHI.G/2015/PN.Gsk., tanggal 22 Desember 2015, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, ... maka Majelis Hakim berpendapat bahwa hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat adalah hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT);
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 151 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3. Menyatakan putus hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat sejak putusan ini dibacakan yaitu pada tanggal 22 Desember 2015;
4. Menyatakan Tergugat tidak membayar upah Para Penggugat semenjak Januari 2015 atau selama tiga bulan berturut-turut atau lebih;
5. Menghukum Tergugat untuk membayarkan hak-hak para Penggugat secara tunai sekaligus dengan perincian sebagai berikut: Pesangon ..., Upah Proses ...;
6. Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa “perundingan bipartit” menjadi syarat mutlak sebelum menempuh hukum acara di Pengadilan Hubungan Industrial. Sementara Tergugat mengajukan gugatan tanpa didahului “perundingan bipartit”.
Tergugat juga mendalilkan, bahwa Para Penggugat bukanlah karyawan pada Tergugat, tetapi adalah orang yang bekerja secara borongan lepas berdasarkan volume kayu yang akan dikerjakan (dipotong), sehingga hubungan kerja antara Tergugat dengan Para Penggugat tidak mengacu kepada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berdasarkan unsur pekerjaan, upah dan perintah:
a. Unsur pekerjaan:
- Para Penggugat bekerja di perusahaan Tergugat bukan sebagai karyawan/buruh, namun sebagai pekerja secara borongan lepas / berdasarkan sistem komisi / bagi hasil berdasarkan volume kayu milik pelanggan (costumer). Ada atau tidak adanya pekerjaan yang dapat dilakukan oleh Para Penggugat, bergantung dari ada atau tidak adanya barang yang akan dikerjakan, sehingga waktu dan volume pekerjaan yang ada selalu berubah-ubah;
- Para Penggugat selain bekerja borongan pada Tergugat, juga seringkali bekerja di tempat lain saat perusahaan Tergugat tidak ada order dari pelanggan, sehingga unsur pekerjaan yang tetap tidak ada atau tidak terpenuhi.
b. Unsur upah:
- Unsur upah mencakup tunjangan bagi pekerja/ buruh dan keluarganya. Sedangkan Para Penggugat saat menerima upah tidak ada tunjangan baik bagi Para Penggugat sendiri maupun keluarganya;
- Upah Para Penggugat nominalnya perbulan / perhari selalu berubah / tidak sama, tergantung dari volume kayu milik costumer yang dikerjakan dan tergantung jumlah volume yang dihasilkan;
- Para Penggugat menerima upah berdasarkan volume pekerjaan hanya pada saat menerima order yang telah disepakati bersama, akan tetapi apabila Para Penggugat tidak bekerja, maka sama sekali tidak menerima upah.
c. Unsur Perintah:
- Kayu yang dipotong (yang akan dikerjakan) disesuaikan oleh permintaan pelanggan. Jadi Tergugat tidak secara langsung memerintahkan pekerjaan ukuran pemotongan kayu yang dikerjakan Para Penggugat;
- Dalam melakukan pekerjaan tidak ada paksaan, artinya, apabila Para Penggugat tidak mau menjalankan order yang diberikan, untuk itu Tergugat akan mencari pengganti orang lain yang mau mengerjakan;
- Para Tergugat dalam melakukan pekerjaan di perusahaan Tergugat, mempunyai kebebasan untuk menerima serta melakukan pekerjaan atau tidak melakukan pekerjaan;
- unsur perintah antara Tergugat dan Para Penggugat tidak bersifat mutlak karena tidak adanya hubungan kerja yang pasti, dimana pihak Para Penggugat, adalah bebas untuk melakukan pekerjaan atau tidak melakukan pekerjaan dengan cara menolak pekerjaan atau tidak masuk bekerja tanpa ada tegoran dari Tergugat.
Termohon Kasasi adalah tenaga borongan lepas (musiman), dimana “Tenaga kerja borongan” adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan pekerjaan tertentu dengan menerima upah didasarkan atas volume pekerjaan atau satuan hasil kerja, demikian Tergugat menutup argumentasinya.
Dimana terhadap keberatan-keberatan pihak Pengusaha, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan yang penting untuk disimak, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 18 Januari 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 11 Februari 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Gresik telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa Para Termohon Kasasi / Para Penggugat bekerja pada Pemohon Kasasi / Tergugat di Divisi Sawmill atau penggergajian / pemotongan kayu;
2. Bahwa mengenai hubungan kerja antara Pemohon Kasasi / Tergugat dengan Para Termohon Kasasi / Para Penggugat, tidak ada alat bukti tertulis yang menyatakan hubungan kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), tidak ada absensi, tidak ada kwitansi penerimaan upah, yang ada hanya tabel produksi / pekerjaan dan upah borongan, sedangkan dari alat bukti saksi-saksi Penggugat maupun Tergugat, diperoleh fakta jika masuk kerja tidak ada check clock / kartu absen, jika tidak ada pekerjaan Para Pekerja tidak diwajibkan masuk kerja, tidak ada upah tetap, tidak ada cuti tahunan, Pekerja selama tidak ada pekerjaan pada Pemohon Kasasi  / Tergugat dapat bekerja pada perusahaan lain. Upah dan jam kerja Para Termohon Kasasi / Para Penggugat tergantung kepada adanya pekerjaan pemotongan kayu dari pihak ketiga;
3. Bahwa dengan demikian tidak ada unsur perintah, dibuktikan dengan (tidak adanya) kewajiban masuk kerja setiap hari kerja, absensi, dan tidak boleh bekerja di tempat lain, tidak terpenuhi unsur upah/gaji karena upah borongan diterima hanya kalau ada pekerjaan pemotongan kayu dari pihak ketiga, dan jika tidak ada pekerjaan tidak ada upah, unsur pekerjaan hanya ada jika pemotongan kayu dari pihak ketiga yang sifatnya tidak terus-menerus, sehingga hubungan kerja sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 15 Undang Undang 13/2003, tidak terpenuhi;
4. Bahwa kebiasaan dalam praktek kerja disektor perkayuan sistem kerja demikian dilakukan oleh kelompok Pekerja tertentu dengan dikoordinir perorangan, dan mendapat penghasilan dari jumlah total produksi dikurangi dengan biaya operasional kelompok dalam melakukan pekerjaan;
5. Bahwa dengan demikian tidak ada hubungan kerja antara Pengusaha / Tergugat dengan Para Pekerja / Para Penggugat, sehingga tidak berhak atas kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK);
6. Namun demikian, walaupun hubungan kerja tidak memenuhi unsur sesuai Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, demi keadilan dan dalam konteks hubungan industrial Pengusaha / Tergugat dengan Pekerja / Para Penggugat adalah mitra, serta kedudukan para pihak in casu Pengusaha / Tergugat dan Pekerja / Para Penggugat secara ekonomis tidak seimbang, maka beralasan hukum masing-masing Penggugat memperoleh uang kerohiman sejumlah 6 (enam) bulan upah untuk biaya hidup sampai memperoleh pekerjaan yang baru;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi THOMAS LAZUARDI, tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Gresik Nomor 12/Pdt.Sus.PHI.G/2015/PN Gsk., tanggal 22 Desember 2015 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
1. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi;
2. Membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Gresik Nomor 12/Pdt.Sus-PHI.G/2015/PN Gsk., tanggal 22 Desember 2015;
MENGADILI SENDIRI:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menghukum Tergugat untuk membayar uang kerohiman kepada Para Penggugat, masing-masing setiap Penggugat / Pekerja berhak sejumlah 6 (enam) X Rp2.707.500,00 = Rp16.245.000,00 (enam belas juta dua ratus empat puluh lima ribu rupiah);
3. Menghukum Pemohon Kasasi / Tergugat untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini sejumlah Rp500.000,00.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.